Kawanku Seorang Inlanders

Posted on 09.21 by Estu Pitarto

Judul : OEROEG
Penulis : Hella S Haasse
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2009

Oeroeg kawanku. Tubuhnya hitam polos, wajahnya datar dan lebar, tatapannya tajam berkilauan. Ia adalah anak Deppoh mandor ayahku dengan Ibunya yang bernama Sidris. Hampir sejak aku dilahirkan, ia satu-satunya makhluk hidup di lingkunganku yang mengalami setiap tahap keberadaanku, setiap ingatan, setiap kesan. Oeroeg melambangkan hidupku di sekitar Kebon Jati, bertualang ke gunung, bermain di kebun dan di atas bebatuan sungai, bepergian dengan kereta api, ke sekolah kehidupan masa kanak-kanakku ( hal 68 ).

Orang-orang suka mencemoohku karena bergaul dengan “jongosku” yang hanya seorang Inlanders. Apakah Oeroeg lebih rendah dari orang-orang Eropa? Hanya orang-orang gila dan bodoh saja yang menganggap satu ras lebih tinggi derajatnya dibandingkan ras lain hanya karena warna kulit. Macan Kumbang berbeda dengan Monyet, tetapi bukan berarti satu lebih rendah daripada yang lainnya. Sungguh sekali lagi itu semua adalah omong kosong.


Oeroeg, salahsatu novel bergaya roman bernuansa tahun 40-50 an adalah karya Hella S Haasse yang dibuat pertama kali pada tahun 1980. Novel ini menceritakan tentang kehidupan si Aku yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah Pasundan yakni Sukabumi. Nuansa yang tersirat dalam novel ini menggambarkan hubungan kehidupan antara Inlanders dengan orang Belanda. Perbedaan status kemasyarakatan pada saat itu secara langsung menempatkan golongan-golongan manusia berdasarkan ras dan bangsa layaknya perbedaan sistem kemasyarakatan lainnya. Orang Eropa dalam hal ini orang Belanda ditempatkan pada kasta paling tinggi sedangkan golongan rendahan adalah pribumi. Hal ini terlihat dalam gambaran sosok ayah si Aku yang menempatkan dan terus menyadarkan kepada si Aku bahwa dirinya adalah orang eropa yang tak layak bergaul dengan inlanders. Mereka tak lebih dari sekadar jongos di lingkungan keluarganya.

Gaya bertuturnya membuat kita berimajinasi mundur ke belakang menengok kejadian di masa lalu. Penggambarannya begitu detil hingga membuat pembaca ikut merasakan dinginnya Telaga Hideung.
Kehidupan Oeroeg mulai berubah sejak Deppoh, ayahnya meninggal di Telaga Hideung saat menyelamatkan si Aku yang tenggelam ke dalam telaga. Entah karena tanggungjawab atau sekadar ucapan terimakasih, Oeroeg mendapatkan kesempatan sekolah belajar membaca dan menulis dengan biaya dari ayah si Aku. Kenyataannya Oeroeg dipersiapkan dengan pendidikan yang cukup tak lain hanya sekadar untuk menjadi pegawai di perkebunan milik Belanda. Lida, wanita yang mengasuh sekaligus guru si Aku melihat kemampuan Oeroeg dapat lebih baik jika ia sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. ia pun alntas mengangkat Oeroeh sebagai anak dan memberikan biaya sekolah mulai dari MULO hingga NIAS. Semakin tingi jenjang pendidikan semakin luas pula wawasannya, pun dengan Oeroeg. Sebagai seorang mahasiswa ia mulai menemukan idealismenya sebagai seorang anak bangsa. Anak bangsa yang wajib menjunjung tinggi kehormatan bangsa. ” Aku tak ingin meminta pada pemerintah Belanda, Aku tidak btuh bantuan kalian” ( hal 118).

Perubahan inilah yang menjadi awal perpisahan Oeroeg dengan si Aku. Sejak itu si Aku pergi ke Delft, Belanda untuk menjadi insinyur. tahun demi tahun berlalu, meskipun si Aku keturunan Belanda, ia merasakan bahwa Sukabumi adalah tempat kelahiran dan tempat ia dibesarkan. Ada kerinduan mendalam yang mengharuskan ia kembali ke Hindia Belanda dan itu adalah Oeroeg. Tatkala itu perang yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda tengah berkecamuk. si Aku diberi tugas untuk memperbaiki jembatan-jembatan yang rusak oleh pejuang. Tetap saja Oeroeg yang selama ini dan hingga kini menjadi separuh jiwanya menjadi alasan kuat untuk terus mencarinya. Ia pun tak menolak ketika diajak patroli oleh serdadu-serdadu Belanda ke kebon jati. Kini semuanya berubah, jauh dari pemandangan nan elok yang dulu ia sering berpetualang bersama Oeroeg. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang pejuang. ia kenal benar dengan orang tersebut, Oeroeg.

“Pergi, atau kutembak” itulah kata sambutan yang harus si Aku terima ketika bertemu dengan separuh jiwanya. Sejak itu Oeroeg tak lagi muncul dalam kehidupannya. Si Aku harus rela meng-Oeroeg ( mengubur ) kenangan indah bersamanya.
Begitulah akhir cerita novel yang tak ber-bab tersebut. dari awal hingga akhir, pembaca tak akan menemukan siapa sebenarnya nama tokoh si Aku dan kenapa penulis memilih nama Oeroeg.
Novel roman yang sangat indah, namun sangat disayangkan karena dalam hal teknis, kertas yang digunakan adalah kertas buram. Novel ini tak akan lekang oleh zaman oleh karena itu diharapkan kertas yang digunakan dapat bertahan hingga wakatu yang sangat lama.

Tak salah jika saya mereferensikan novel ini untuk Anda karena di dalamnya tersirat makna hubungan antara manusia dengan manusia yang lain sebagai makhluk Tuhan yang sama walau berbeda dalam hal fisik. Sungguh sebuah persahabatan yang tak bertepi.

No Response to "Kawanku Seorang Inlanders"

Leave A Reply