Kawanku Seorang Inlanders

Judul : OEROEG
Penulis : Hella S Haasse
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2009

Oeroeg kawanku. Tubuhnya hitam polos, wajahnya datar dan lebar, tatapannya tajam berkilauan. Ia adalah anak Deppoh mandor ayahku dengan Ibunya yang bernama Sidris. Hampir sejak aku dilahirkan, ia satu-satunya makhluk hidup di lingkunganku yang mengalami setiap tahap keberadaanku, setiap ingatan, setiap kesan. Oeroeg melambangkan hidupku di sekitar Kebon Jati, bertualang ke gunung, bermain di kebun dan di atas bebatuan sungai, bepergian dengan kereta api, ke sekolah kehidupan masa kanak-kanakku ( hal 68 ).

Orang-orang suka mencemoohku karena bergaul dengan “jongosku” yang hanya seorang Inlanders. Apakah Oeroeg lebih rendah dari orang-orang Eropa? Hanya orang-orang gila dan bodoh saja yang menganggap satu ras lebih tinggi derajatnya dibandingkan ras lain hanya karena warna kulit. Macan Kumbang berbeda dengan Monyet, tetapi bukan berarti satu lebih rendah daripada yang lainnya. Sungguh sekali lagi itu semua adalah omong kosong.


Oeroeg, salahsatu novel bergaya roman bernuansa tahun 40-50 an adalah karya Hella S Haasse yang dibuat pertama kali pada tahun 1980. Novel ini menceritakan tentang kehidupan si Aku yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah Pasundan yakni Sukabumi. Nuansa yang tersirat dalam novel ini menggambarkan hubungan kehidupan antara Inlanders dengan orang Belanda. Perbedaan status kemasyarakatan pada saat itu secara langsung menempatkan golongan-golongan manusia berdasarkan ras dan bangsa layaknya perbedaan sistem kemasyarakatan lainnya. Orang Eropa dalam hal ini orang Belanda ditempatkan pada kasta paling tinggi sedangkan golongan rendahan adalah pribumi. Hal ini terlihat dalam gambaran sosok ayah si Aku yang menempatkan dan terus menyadarkan kepada si Aku bahwa dirinya adalah orang eropa yang tak layak bergaul dengan inlanders. Mereka tak lebih dari sekadar jongos di lingkungan keluarganya.

Gaya bertuturnya membuat kita berimajinasi mundur ke belakang menengok kejadian di masa lalu. Penggambarannya begitu detil hingga membuat pembaca ikut merasakan dinginnya Telaga Hideung.
Kehidupan Oeroeg mulai berubah sejak Deppoh, ayahnya meninggal di Telaga Hideung saat menyelamatkan si Aku yang tenggelam ke dalam telaga. Entah karena tanggungjawab atau sekadar ucapan terimakasih, Oeroeg mendapatkan kesempatan sekolah belajar membaca dan menulis dengan biaya dari ayah si Aku. Kenyataannya Oeroeg dipersiapkan dengan pendidikan yang cukup tak lain hanya sekadar untuk menjadi pegawai di perkebunan milik Belanda. Lida, wanita yang mengasuh sekaligus guru si Aku melihat kemampuan Oeroeg dapat lebih baik jika ia sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. ia pun alntas mengangkat Oeroeh sebagai anak dan memberikan biaya sekolah mulai dari MULO hingga NIAS. Semakin tingi jenjang pendidikan semakin luas pula wawasannya, pun dengan Oeroeg. Sebagai seorang mahasiswa ia mulai menemukan idealismenya sebagai seorang anak bangsa. Anak bangsa yang wajib menjunjung tinggi kehormatan bangsa. ” Aku tak ingin meminta pada pemerintah Belanda, Aku tidak btuh bantuan kalian” ( hal 118).

Perubahan inilah yang menjadi awal perpisahan Oeroeg dengan si Aku. Sejak itu si Aku pergi ke Delft, Belanda untuk menjadi insinyur. tahun demi tahun berlalu, meskipun si Aku keturunan Belanda, ia merasakan bahwa Sukabumi adalah tempat kelahiran dan tempat ia dibesarkan. Ada kerinduan mendalam yang mengharuskan ia kembali ke Hindia Belanda dan itu adalah Oeroeg. Tatkala itu perang yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda tengah berkecamuk. si Aku diberi tugas untuk memperbaiki jembatan-jembatan yang rusak oleh pejuang. Tetap saja Oeroeg yang selama ini dan hingga kini menjadi separuh jiwanya menjadi alasan kuat untuk terus mencarinya. Ia pun tak menolak ketika diajak patroli oleh serdadu-serdadu Belanda ke kebon jati. Kini semuanya berubah, jauh dari pemandangan nan elok yang dulu ia sering berpetualang bersama Oeroeg. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang pejuang. ia kenal benar dengan orang tersebut, Oeroeg.

“Pergi, atau kutembak” itulah kata sambutan yang harus si Aku terima ketika bertemu dengan separuh jiwanya. Sejak itu Oeroeg tak lagi muncul dalam kehidupannya. Si Aku harus rela meng-Oeroeg ( mengubur ) kenangan indah bersamanya.
Begitulah akhir cerita novel yang tak ber-bab tersebut. dari awal hingga akhir, pembaca tak akan menemukan siapa sebenarnya nama tokoh si Aku dan kenapa penulis memilih nama Oeroeg.
Novel roman yang sangat indah, namun sangat disayangkan karena dalam hal teknis, kertas yang digunakan adalah kertas buram. Novel ini tak akan lekang oleh zaman oleh karena itu diharapkan kertas yang digunakan dapat bertahan hingga wakatu yang sangat lama.

Tak salah jika saya mereferensikan novel ini untuk Anda karena di dalamnya tersirat makna hubungan antara manusia dengan manusia yang lain sebagai makhluk Tuhan yang sama walau berbeda dalam hal fisik. Sungguh sebuah persahabatan yang tak bertepi.

Tips Merawat Buku

Koleksi bukumu sudah terlalu banyak? Disimpan dimana sekarang? Di dalam kotak kardus? Aduh, jangan deh. Hindari menyimpan buku-buku terlalu lama di dalam kotak kardus.

Banyak kotak kardus mengandung asam (acid). Asam dari kotak kardus itu bisa pindah ke buku. Akibatnya, buku kita bisa berubah warna jadi kekuning-kuningan. Sayang kan? Lebih baik, siapkan rak buku yang ukurannya cukup untuk menyimpan koleksi buku-buku kita.

Agar terbebas dari debu, kotoran, dan musuh-musuh buku lainnya, banyak yang menyarankan agar rak buku tertutup. Supaya tetap gampang dilihat, sebaiknya pintu penutupnya terbuat dari kaca. Cuma, buku-buku itu jangan sampai terkurung rapat tanpa sirkulasi udara. Buku-buku kita akan mudah lumutan jika disimpan tertutup tanpa sirkulasi udara.


Kalau rak buku itu terbuat dari kayu, pastikan bahwa rak itu cukup kokoh agar cukup tahan menanggung bobot buku-buku yang berat untuk jangka waktu yang lama. Dan pastikan juga bahwa kayunya diberi lapisan. Kayu yang tidak berlapis bisa mengeluarkan uap asam yang membahayakan.

Kita bisa memilih desain rak buku model apapun. Tapi perhatikan satu hal: level paling bawah rak buku juga harus berjarak beberapa senti meter di atas lantai agar terhindar dari genangan air kalau terjadi banjir kecil.

Rak buku sebaiknya tidak langsung menempel ke dinding yang bersebelahan dengan bagian luar rumah. Kasih jarak beberapa senti meter antara rak dengan dinding agar tidak terganggu oleh suhu dan kelembaban ruangan luar yang bisa berubah-ubah dengan cepat.

Letakkan rak buku di tempat yang terhindar dari sorotan langsung sinar matahari, atau cahaya lampu lainnya. Terutama cahaya yang mengandung ultra violet (UV). Buku akan cepat rusak kalau terlalu sering terkena UV: warna buku bisa jadi pudar. Buku lebih menyukai cahaya yang redup, dan bahkan gelap.

Ruang tempat menyimpan buku juga sebaiknya tidak terlalu lembab dan tidak terlalu panas. Suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi bisa memunculkan reaksi asam yang akan membuat kertas menjadi busuk. Kelembaban di bawah 40% bisa membuat kertas menjadi kering dan rapuh. Sedangkan kelembaban di atas 60% bisa membuat kertas menjadi lembek dan menimbulkan pembusukan asam.

Suhu sekitar 68 derajat F dan kelembaban sekitar 50% sering dianggap lingkungan yang ideal buat buku. Yang tak kalah penting, hindari suhu dan kelembaban yang naik turun cukup tinggi (fluktuatif), yang juga bisa menjadi penyebab kerusakan buku. Itu sebabnya, seringkali disarankan agar buku disimpan dalam ruangan ber-AC agar bisa mengendalikan suhu dan kelembabannya.

Rawatlah ruang tempat penyimpanan buku dengan baik. Sebaiknya jauhkan buku dari makanan. Pertimbangkanlah juga untuk menjauhkan tanaman dari rak buku. Ingat, buku mengandung zat organik yang menarik serangga dan binatang pengerat. Akan repot urusannya kalau -selain mampir ke makanan atau tanaman- serangga-serangga itu juga ikut menyantap kerta-kertas buku kita.

Letakan buku di rak dalam posisi berdiri. Buku memang dirancang untuk diletakan
dalam posisi berdiri. Jangan pernah meletakan buku dengan posisi punggungnya menghadap atas. Dengan posisi begitu, tekanan gravitasi akan membuat kerapatan jilid buku menjadi kendor; ujung-ujungnya, kertas-kertas buku bisa lepas dari jilidnya.

Salah satu kebiasaan buruk yang sering kita lakukan adalah menumpuk buku di atas buku-buku lain. Kelihatannya praktis dan baik-baik saja. Tapi, sebetulnya, kebiasaan itu bisa merusak buku kita. Beban buku yang berada di atas akan menekan buku di bawahnya sehingga jilid buku mudah lepas.

Selain ditata berdasarkan topiknya, koleksi buku kita juga sebaiknya ditata berdasarkan ukurannya. Kelompokan buku-buku kita berdasarkan tingginya. Jika ada buku pendek diapit oleh buku yang lebih tinggi, maka buku-buku yang lebih tinggi itu akan cepat rusak. Terlebih kalau deretan buku itu cukup padat dan ketat, buku yang lebih tinggi akan bengkok-bengkok punggungnya.

Kalau jumlah koleksi buku kita belum bisa memadati rak buku, gunakan pengapit buku (bookend). Buku yang dijejer terlalu longgar di rak buku, akan mudah roboh dan rusak. Pilihlah bookend yang tipis supaya bisa menyelip dengan mudah di bawah buku.

Sering-seringlah membersihkan buku dan rak buku. Kemoceng dan penyedot debu bisa dipakai. Pakailah kain yang bersih, kering dan halus ketika buku dibersihkan. Hati-hati, cermati konstruksi buku kita. Jangan sampai niat kita untuk membersih buku malah membuatnya menjadi rusak.

Koleksi buku kita adalah harta karun kita. Jadi, memang, harus dirawat supaya tahan lama.

Sumber: KutuBuku.com

Cara Baru Mengasah Otak

JUDUL : CARA BARU MENGASAH OTAK DENGAN ASYIK
PENULIS : DAVID GAMON,Ph.D.
PENERBIT : KAIFA
TAHUN : 2005
TEBAL : 292 HALAMAN

    Penelitian otak pada dasawarsa terakhir ini marak dibicarakan. Keajaiban otak yang menyimpan misteri yang belum terungkap mengundang para ahli untuk mempelajarinya. Temuan-temuan tentang otak ini bagaikan bola salju yang terus bergulir. Salah satu yang menggulirkan bola salju tersebut adalah David Gamon. Bersama dengan Allen Bragdon seorang pendiri majalah games dan teka-teki “playspace” untuk sindikasi New York Times, David mencoba menelurkan cara baru mengasah otak dengan asyik melalui buku ini.

    Buku ini dipersembahkan kepada semua orang yang menjaga pikiran mereka agar tetap aktif, terutama mereka yang telah memanfaatkannya untuk mengeksplorasi sarana kelangsungan hidup dan kegembiraan yang sangat menarik-yaitu otak manusia. Demikian kalimat pembuka di halaman 5. Kalimat ini membawa kita sedikit membayangkan isi buku ini.
    Kebenaran pernyataan ini dapat kita buktikan setelah membaca bagian isi buku. Saya ambilkan contoh salah satu teka-teki yang ada di dalam buku tersebut. Seorang petani ingin menyeberangkan seekor rubah, sekor angsa, dan sekantung biji ke seberang sungai. Tetapi perahunya hanya cukup untuk mengangkut satu penumpang sekali jalan. Jika dia meninggalkan rubah dan angsa berduaan di sisi sungai, rubah akan memakan angsa itu. Jika dia meninggalkan angsa dengan sekantung biji, angsa akan memakan biji itu. Bagaimana dia bisa membawa ketiganya ke seberang sungai? (halaman 47).Teka-teki tersebut hanya salahsatu dari beberapa teka-teki dalam buku ini. Teka-teki yang disajikan sesuai untuk mengasah 6 zona kecerdasan manusia.

    Ada beberapa yang perlu dibenahi jika saya menjadi seorang editor penerbit buku tersebut. Saya mengakui isi buku bagus tetapi dalam hal penyajiannya belum bisa menyesuaikan tipologi membaca orang Indonesia. Besar huruf dan banyaknya paragraf yang tersusun sudah membuat calon pembacanya jemu. Detil informasi yang tersaji akan mereka lewatkan. Mereka hanya akan membuka teka-teki yang tersaji khusus di sebuah kotak. Jika saja mereka mau membaca lebih detil mungkin mereka akan kaget setelah menemukan tulisan bahwa nikotin ternyata meningkatkan ingatan spasial, pembelajaran, dan pemrosesan informasi. Nikotin merupakan sebuah obat”pintar” baru. Maaf saya tidak akan menyebutkan halamannya supaya kamu penasaran.

    Otak manusia bagaikan raksasa yang tidur. Ketika raksasa itu bangun maka kau akan menemukan keajaiban-keajaiban yang tak pernah kau pikirkan sebelumnya. Jangan biarkan dia tidur. Buatlah mereka terjaga dengan membaca dan menerapkan isi buku ini. Buku ini sangat cocok untuk kamu yang ingin merubah dari manusia pelupa menjadi manusia jenius. Manusia yang menghiasi hidupnya dengan karya-karya kreatifnya.

    Kapitalis Mengajarkan Dusta

    Judul      : Belajar Dusta di Sekolah Kita
    Penulis   : Sucipto Hadi Purnomo
    Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri, Yogyakarta
    Tahun    : April, 2008

      Pancaindera merupakan sebuah nikmat Tuhan yang tak terkira. Melalui pancainderalah kita belajar menyikapi fenomena yang terjadi dalam lingkungan. Begitu pula dengan Sucipto hadi Purnomo. Dia gunakan pancainderanya untuk mengamati carut marut dunia pendidikan Indonesia. Lantas dia ikat hasil pengamatannya tersebut dalam buku ini.

      Buku ini sengaja disajikan bagi dunia pendidikan Indonesia yang tak jua bangkit dari keterpurukan. Begitu peliknya permasalahan sehingga sulit mengurai satu persatu akar masalah yang ruwet bagaikan benang layang-layang. Melalui buku ini pulalah Sucipto mencoba mengurai akar masalah tersebut. Sadar atau tidak pendidikan Indonesia telah mengalami pergeseran dari cita-cita sebenarnya.Sekolah sebagai tempat formal untuk memanusiakan manusia kini telah bermutasi menjadi ladang bagi kapitalis-kapitalis pendidikan.Guru tak lebih layaknya buruh dan siswa merupakan komoditas yang menguntungkan para kapitalis tersebut.

      Mentalitas kapitalisme yang licik telah merasuk ke dalam pejabat pendidikan hingga kepala sekolah. Kenyataan ini tak bisa kita pungkiri. Beberapa daerah di pelbagai pelosok negeri busung korupsi ini dikabarkan membutuhkan banyak tenaga kependidikan. Ironis jika hal tersebut ada sedangkan banyak sarjana pendidikan yang menganggur. Pemerintah tak bisa tinggal diam begitu saja membaca kenyataan ini lantas mereka merekrut guru bantu. Dengan perekrutan guru bantu, kebutuhan pemerintah terpenuhi. Angka pengangguran para sarjana pendidikan setidaknya dapat diminimalisir. Kenyataan berbicara lain, honor perbulan guru tersebut di bawah rerata UMR buruh pabrik. Guru bantu tak sekadar membantu pemerintah memenuhi tetapi lebih tepatnya menjadi guru (pem-)bantu. Beban tugas banyak bahkan melebihi guru PNS, tetapi honor berbanding terbalik dengan profesionalitas mereka. Sungguh tak pantas jika pemerintah mengklaim telah mengangkat kesejahteraan guru (hlm. 22). Pengangkatan guru bantu bukan untuk menyejahterakan guru,melainkan demi kepentingan pemerintah dalam pengadaan guru karena tak kuat (tak mau?) mengangkat guru negeri (hlm.16).

      Kurikulum sebagai acuan operasional diobok-obok tak karuan. Ganti menteri ganti kurikulum, bukan hal baru bagi rakyat. Rakyat bisa memaklumi hal tersebut, tokh para menteri juga ingin menunjukkan prestasinya, bukan? Tuntutan standar kelulusan nasional merupakan wujud pengkhianatan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang pemerintah gulirkan. Pendidikan yang seyogyanya menjadi tempat siswa mengembangkan kompetensinya hanya tersentuh sebatas ranah kognitif. Pencapaian target nilai angka menjadi acuan keberhasilan proyek mercusuar pemerintah ini. “Gengsi gede-gedean” menjadi sebuah pertaruhan sekolah dengan orangtua. Wajar jika akhirnya sekolah mengajarkan dusta kepada anak didiknya. Sekolah agaknya lebih banyak menuntut daripada mendengarkan. Para guru sering lebih bangga ketika anak didiknya mampu mempersembahkan nilai 100 ketimbang mereka yang tak bisa menuntaskan PR ( hlm. 30).

      Untuk mencapai kompetisi bergengsi tersebut, LKS (Lembar Kerja Siswa) menjadi alternatif pilihan. Bejibun PR yang membebani siswa terjadi karena fungsi LKS tersebut. Sekian beban tersebut menjadikan LKS sebagai Lembar Kesengsaraan Siswa. LKS telah memberangus keceriaan anak-anak. Bahkan tak sedikit terjadi kongkalikong pemerintah,penerbit, bahkan guru dalam pengadaan LKS ini. LKS menjadi sebuah proyek semesteran atau tahunan sebagai komoditi menambah finansial guru. Kalaulah Kurikulum tingkat satuan pendidikan tak mampu menyingkirkan LKS,kalaulah para kepala dinas pendidikan tak mampu menyurutkan jual-beli lembaran ini di sekolah, entah dengan apalagi kita bisa menyurutkan subyek didik dari lembaran-lembaran menyengsarakan itu ( hlm.58). Harus bagaimana lagi, membuat LKS adalah usaha sampingan guru untuk menambah kebutuhan keluarga dan membayar hutang di bank.

      Margaret Mead berkata,”Nenek melarangku sekolah,jika ingin menambah pengetahuan”. Artinya selama ini sekolah tidak dapat menjadi lahan pengetahuan. Sekolah tak lebih hanyalah tempat formal mendapat ijazah sebagai syarat masuk jenjang selanjutnya. Barangkali setelah membaca kumpulan essay yang cukup provokatif ini, timbul sikap apatis seperti neneknya Margaret. Oleh karena itu membaca buku ini harus benar-benar dengan hati yang bersih untuk melihat segalanya dari berbagi sisi. Kumpulan essay yang terkumpul dalam buku ini diharapkan dapat membuka hati dan pandangan pemerintah dan masyarakat terhadap dunia pendidikan Indonesia yang kian tak menentu ini. Satu hal yang pasti, sekolah tak pernah salah dan kalah. Sekolah tak lebih tak kurang adalah sebagai candu! Selalu Diburu ( hlm.6)

      Autis Bukan Kutukan

      • Judul        : Faisal Sayang Mama Sampai Tua
      • Penulis     : Sri Murni
      • Editor       : Budi Maryono,Ganjar Triadi
      • Penerbit   : Komunitas Wedangjae
      • Tahun       : 2010
      • Tebal       : 126 halaman
      • Harga      : Rp 30.000


      Kehadiran anak di dunia merupakan kebahagiaan bagi keluarga. Terlebih bagi seorang perempuan yang ditakdirkan menjadi perantara kehidupan sang anak. Anak adalah karunia dari Tuhan. Ia adalah anugrah tiada terkira sebagai amanah bagi orangtua. Suka cita dan bangga berpadu menjadi satu menyambut kelahiran sang anak. lahir dengan fisik sempurna, tubuh montok nan menggemaskan selalu menjadi bahan yang tak habis dibicarakan. Inilah yang dirasakan oleh Sri Murni tatkala menyambut kelahiran anak keduanya,Muhammad Faisal Hakim.

      Manusia boleh mengharapkan sesuatu yang sempurna. Tak satu pun orangtua mengharapkan anaknya lahir dengan masalah. Apalagi bila masalah tersebut berkaitan dengan autisma pada diri anak.
      Namun dibalik itu semua Tuhan memiliki hak prerogatif untuk menciptakan makhluk-Nya seperti apa yang Ia kehendaki. Manusia tak akan mampu menawar hal tersebut. Anak tak pernah memilih dilahirkan dalam keadaan autis. Keikhlasan dan ketabahan menjadi sebuah kewajiban bagi orangtua untuk mempersembahkan hal yang terbaik pada sang anak.

      Buku ini merupakan kisah nyata Sri Murni ketika menangani Faisal yang diketahui sebagai anak autis sejak umur dua tahun. Pada mulanya keadaan tersebut tidak disadari oleh Sri Murni,namun keanehan pada diri Faisal mulai menjadi bahan pertanyaan yang terus menggayut dalam benaknya. Faisal suka menangis dan tersenyum tanpa sebab, membenci suara-suara keras, takut pada kegelapan hingga lubang kloset. Tak jarang Faisal buang air besar di celana serta berteriak histeris pada dini hari saat mendengar kokok ayam jantan bersahutan (hal.6). Sedih, gundah, dan amarah berkecamuk menjadi satu. Tidak tahu harus berbuat apa sedangkan suami akan pergi begitu mendengar teriak dan tangis Faisal. Seolah-olah seluruh beban yang ada di dunia ini ada pada pundaknya. Penolakan demi penolakan menjadi pergolakan dalam hati. Tak pantas kiranya mengadu kepada Tuhan mengatakan bahwa Ia bertindak tidak adil kepada dirinya dengan kehadiran Faisal dalam keluarga. Inikah kutukan baginya?Autis bukan kutukan. Ia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna. Tak ada sesuatupun yang Tuhan ciptakan tanpa ada sebab dan hikmah dibalik penciptaan-Nya tersebut. Tuhan pasti memberikan segala yang indah sebagai anugerah. Yakinlah kita bisa menjalani semua dengan kesabaran serta keikhlasan berdasarkan pemikiran bahwa anak adalah amanah Tuhan,autis sekalipun.(hal.10). Inilah yang menjadi titik tolak perubahan sikap Sri Murni menghadapi sang buah hati. Hari-hari ia nikmati penuh dengan keindahan tangisan dan tantrum Faisal.

      Pengalamannya tersebut diceritakan dalam gaya bahasa yang mengalir layaknya mengobrol langsung dengan Sri Murni. Tak ada kisah yang luar biasa pada buku ini, namun mampu mengalirkan airmata bagi siapa saja yang membaca.

      Disebutkan Sri Murni memutuskan untuk menghentikan menjajakan es lilin demi mendampingi kehidupan Faisal. Ia rela menjadi guru shadow bagi Faisal di sekolah. Sekolah Faisal adalah sekolahnya pula. Ini sangat efektif sebab guru shadow terbaik bagi anak autis tak lain adalah orangtua khususnya ibu. Perkembangan anak dapat dipantau secara lebih intensif. Penanaman konsep pun tak akan berseberangan dibandingkan ketika oranglain menjadi guru shadow (hal.56). Sedikit demi sedikit ketakutan Faisal dengan suara keras berkurang, Faisal mulai memahami konsep-konsep dasar berhitung hingga surat-surat dalam Al quran berhasil ia hafalkan selangkah demi selangkah. Semua itu tak lepas dari kegigihan Sri Murni belajar mencari sumber-sumber untuk menangani anak autis baik dari media atau pun berkumpul dengan orang-orang yang berkaitan dengan bidang tersebut. Obat-obatan sebagai solusi tak banyak dibahas dalam buku ini. Semua penanganan Faisal lebih pada pendekatan kejiwaan antara ibu dan anak.

      Perjuangan Sri Murni tak begitu saja berjalan lancar. Ada saja hambatan-hambatan yang terus menguji kesabarannya. Ujian yang mendera jiwanya yang paling menusuk hati tatkala ada seorang ibu yang mendamprat dan mencaci dirinya perihal ulah Faisal terhadap anak “sang ibu pendamprat”. Segala keindahan yang selama ini dibangun sirna begitu saja seakan berbalik menjadi musuh, menjungkirbalikkan kehidupannya. Kesabarannya hilang, ia pukul tubuh Faisal hingga menangis dan kesakitan sambil berteriak,”Mama, Faisal sayang Mama sampai tua!”. Sakit,sakit sekali hatinya (hal.64).Keduanya pun lalu berpelukan, bertangis-tangisan bersama.”Maafkan, Mama Nak!”.

      Sri Murni memang bukanlah seorang penulis. Ia hanya menceritakan kehidupannya bersama Faisal melalui buku ini. Tak heran jika alur cerita antara satu judul dengan judul lainnya serasa tumpang tindih. Namun demikian tetap tidak mengurangi kisah dan hikmah yang menginspirasi ini.

      Sri Murni hanya berkisah hingga Faisal lulus kelas enam. Di akhir bab buku ini, mungkin akan muncul sebuah pertanyaan, “sampai kapan Faisal akan terus didampingi sang ibu?”. Lihat saja dalam halaman 104, tertulis bahwa Bu Kasmi sebagai panitia perpisahan tak mampu untuk membujuk Faisal agar maju hafalan ke depan. Faisal mau beranjak hafalan ke depan tatkala Sri Murni membujuknya. Namun demkian buku ini bermanfaat serta memberikan solusi bagi orangtua serta pemerhati anak autis.

      Semoga Sri Murni mau menuliskan kembali pengalaman hidup Faisal selama duduk di bangku SMP. Tentu saja dengan kisah yang berbeda yakni kemandirian Faisal saat tak lagi didampingi Mamanya sebagai shadow di sekolah atau di rumah. Bukankah kemandirian adalah tujuan utama pendidikan bagi anak autis, bukan sekadar angka-angka yang melejit pada mata pelajaran tertentu. Yakinlah bahwa setiap anak diberikan kemampuan khusus sekalipun autis. Pun dengan Faisal yang memiliki kemampuan hafalan quran dan memainkan keyboard dari belajar secara otodidak. Tak tanggung-tanggung, bandnya bersama anak  autis lainnya telah tampil dihadapan Mendiknas Muhammad Nuh. Semoga tetap sabar